Selasa, 12 Mei 2009

Wisma Kusalayani


Detik - Detik waisak di wisma kusalayani - Lembang
Pada tanggal 9 Mei 2009 pukul 06.30 WIB, kami PMV SAG (13 orang) berangkat ke Maribaya untuk menghadiri detik-detik Waisak di Wisma Kusalayani. Saat kami tiba, umat yang datang ke tempat Ayya Santini dan Ayya Sila belum terlalu banyak. Akan tetapi, sekitar pukul 10.20 WIB, satu bus umat dari Jakarta pun tiba. Pada akhirnya, Wisma Kusalayani dipenuhi oleh umat dari berbagai penjuru kota. Sungguh luar biasa!

Acara detik-detik Waisak di tempat Ayya Santini dan Ayya Sila ini dimulai tepat pada pukul 10.00 yang diawali dengan acara Pindapatta. Semua umat berdiri mengitari daerah bawah dhammasala untuk memberikan Pindapatta kepada Ayya, para Samaneri dan Anagarika.
Setelah acara Pindapatta selesai, Pukul 10.45 acara dilanjutkan dengan meditasi bersama selama kurang lebih 45 menit yang dipimpin langsung oleh Ayya Santini. Selesai bermeditasi Ayya Santini berkata bahwa memperingati detik-detik waisak adalah untuk memperingati kemenangan Pangeran Siddharta yang merupakan calon Buddha menjadi Buddha. Dahulu ketika Pangeran Siddharta bermeditasi untuk mencapai kebuddhaan, beliau selalu digoda oleh Mara. Mara mengeluarkan berbagai senjata ampuhnya untuk menggagalkan Pangeran Siddharta mencapai kebuddhaan.
Pada saat tadi bermeditasi, kita mungkin mengalami banyak gangguan. Walaupun gangguan kita masih sebatas bunyi panci, suara air, suara anak kecil, dan orang yang batuk. Apabila ketika mendengar suara tersebut kita merasa terganggu berarti diri kita masih belum bisa mengendalikan diri kita. Seharusnya walaupun di luar ramai, tetapi didalam hati kita harus tetap tenang. Janganlah situasi tenang pun di dalam pikiran kita berkecamuk memikirkan sesuatu.
Semoga saja suatu saat kita dapat memenangkan detik-detik kemenangan diri kita sendiri. Detik-detik dimana kita dapat memenangkan diri kita sendiri dan menaklukan diri sendiri.
Setelah mendengarkan masukan dari Ayya santini, Acara lalu dilanjutkan dengan makan siang bersama. Setelah usai makan siang, sekitar pukul 12.00 WIB kami memulai acara kebhaktian Waisak 2553 B.E yang dibuka dengan Prosesi Puja dan Penyalaan Lilin Lima Warna.
Dhammadesana pada acara Waisak ini dimulai oleh pertanyaan dari Ayya Santini. Ayya bertanya kepada kami semua, mengapa Pangeran Siddharta begitu spesial??. Pangeran Siddharta spesial karena pada saat itu merupakan kelahirannya yang terakhir karena Ia akan menjadi Buddha. Seorang calon Buddha mengalami perjuangan yang tidak pernah berhenti. Seperti ketika orang yang akan melewati suatu sungai maka orang tersebut harus berenang tanpa berhenti. Apabila orang tersebut berhenti berenang di tengah-tengah perjalanan maka ia akan tenggelam. Usahakan berenang dengan pelan akan tetapi tanpa henti. Perjuangan yang pelan tetapi tanpa henti akan menghasilkan hasil yang lebih baik daripada cepat di awal tetapi berhenti di tengah jalan. Proses menyeberang yang tanpa berhenti sangat memerlukan suatu kekutan yang besar, kekuatan yang tanpa henti. Siapkanlah perjuangan karena hidup ini adalah suatu perjuangan.
Persiapan untuk menjadi Buddha tidaklah gampang karena diperlukan persiapan yang matang. Kita tidak dapat menjadi hanya karena hanya ingin saja. Keinginan yang tanpa ditindak lanjuti dengan persiapan akan menjadi sia-sia. Ketika jaman Buddha Dipankara, banyak orang yang berkeinginan menjadi Buddha seperti Buddha Dipankara. Akan tetapi mereka semua gagal menjadi Buddha karena mereka hanya berkeinginan saja tanpa disertai persiapan.
Pada kehidupan ini kita sangat beruntung dapat terlahir di alam manusia dan dapat mengenal dharma. Tingkatkanlah sila kita jangan sampai kita merosot. Dahulu ketika Pertapa Asita melihat Pangeran Siddharta pada awalnya beliau tertawa dan lalu menangis. Sang pertapa tertawa karena ia melihat tanda Maha Purisa di badan Pangeran Siddharta dan menangis karena Beliau menyadari bahwa dirinya sudah lanjut dan tidak akan dapat mendengarkan Dhamma yang nantinya akan dibabarkan oleh Buddha.
Nah.., bagaimana dengan diri kita sendiri, apakah kita sama dengan Pertapa Asita??. Kita tertawa karena merasa bahagia karena sudah mengenal dhamma akan tetapi kita menangis karena kita menyadari sudah dekat dengan kematian/ajal kita akan tetapi kita belum juga mempraktekkan dhamma. Jangan sampai kita menangis karena menyesal belum pernah mempraktekan dhamma. Kita hidup sebaiknya jangan asal hidup, akan tetapi harus hidup dengan tujuan. Dengan adanya tujuan hidup yang jelas maka kita dapat bangun bila kita mengalami kegetiran dan kepahitan. Buatlah kegetiran dan kepahitan yang kita alami ini menjadi suatu motivasi untuk membuat diri kita semakin mantap. Janganlah menjadikan uang sebagai tujuan hidup kita. Uang hanyalah merupakan alat untuk membuat hidup kita menjadi lebih baik.
Ayya Santini bercerita di pelatihan meditasi Vipasanna terakhir, yaitu sekitar bulan maret terdapat peserta Vipasanna yang Non Buddhis. Peserta ini selalu bernamaskara di depan rupang Buddha setiap ia memasuki ruang Dharmasala. Awalnya ia melakukan kegiatan namaskara ini karena merasa itu sudah tradisi umat Buddha yang selalu bernamaskara di depan rupang Buddha. Akan tetapi setelah ia melakukan praktek meditasi Vipasanna, ketika acara wawancara ia berkata, “Pantesan umat Buddha namaskara karena Buddha memang pantas untuk dihormati karena ajaran-ajarannya yang sungguh mulia.” Apabila kita sudah mempraktekan dhamma yang kita kenal maka kita akan tahu betapa mulianya dan luhurnya Buddha, Dhamma dan Sangha.
Ada suatu kisah tentang seorang anak bertanya kepada kakeknya bahwa bagaimana ia menjadi baik??. Sang kakek lalu bercerita jika ada dua ekor serigala yang satu serigala putih dan yang satu lagi serigala hitam. Serigala tersebut dapat hidup jika kita beri makan. Oleh sebab itu, jika kau ingin serigala putih yang hidup maka selalu beri makanlah serigala putih dan jangan pernah kau beri makan serigala hitam. Jika kau ingin menjadi baik, kau harus selalu memberi makan benih-benih kebajikan dengan selalu berbuat kebaikan.
Pada akhir dhammadesana ini, Ayya Santini menambahkan cerita tentang pengemis. Kita apabila memberi uang kepada pengemis biasanya hanya uang receh saja. Jika tidak ada uang receh kita tidak jadi berdana. Terkadang kita juga memperlakukan diri kita seperti kita memperlakukan pengemis. Kita selalu menyempatkan diri kita untuk sesuatu yang menyenangkan nafsu indria kita tetapi terkadang sulit menyempatkan diri untuk memberi makan spiritual kita. Kita sempat untuk menonton TV, jalan-jalan di mall akan tetapi sulit untuk datang ke Vihara, bermeditasi. Perlakukan diri kita dengan lebih baik, sempatkan diri untuk hal-hal yang spiritual, yang menembah benih-benih kebajikan kita sehingga kita dapat berenang tanpa henti untuk menyeberangi lautan samsara ini.
Demikian ringkasan detik-detik Waisak di Maribaya, Lembang Bandung.
Semoga bermanfaat bagi kita semuanya.
Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search