Pemimpin Kebaktian = Ratnasari
Dhammapada = Dwitya & Nanda
Pembicara = Ferry Karsilo
Penulis = Tommy
Hari ini yang datang kebaktian sangat sedikit, hanya 21 orang.. Tapi beruntung remaja Vihara Surya Adhi Guna kedatangan pembicara yang sangat baik, yakni Ferry Karsilo, Pembicara yang sudah banyak dikenal di kalangan Buddhist se-kabupaten Karawang.
Pada awal mula sesi, Ferry melontarkan pertanyaan: “ Apa tujuan anda semua datang ke Vihara? ” ..Dharma menjawab:”supaya bisa berdana”. “Motivasi yang sangat baik”, sambut ferry,Pertanyaan seperti ini sebenarnya adalah pertanyaan untuk kita semua. Banyak orang datang ke vihara karena banyak motivasi. Lalu Ferry bertanya kembali : “ Semua yang hadir, siapa yang sudah punya KTP? ”.. Hampir sebagian besar yang hadir sudah memiliki KTP, “ Pasti di KTP tersebut tertulis Agama = Buddha” lanjut Ferry, kenapa kita beragama Buddha? Kebanyakan orang beragama Buddha karena memang sudah dari kecilnya ( karena orang tua ). Banyak orang beragama Buddha Seumur hidup, tapi apa kita benar-benar tahu bahwa agama Buddha benar-benar cocok dengan kita? Bagaimana mengukur kecocokan diri kita dengan agama-agama yang ada?apa tolok ukurnya? Mendengar pertanyaan seperti itu saya pun terenyuh, berpikir apa tolok ukur kita betul-betul cocok beragama Buddha?..
Setelah beberapa saat, Ferry memberikan jawaban, tolok ukur nya adalah,
Dhammapada = Dwitya & Nanda
Pembicara = Ferry Karsilo
Penulis = Tommy
Hari ini yang datang kebaktian sangat sedikit, hanya 21 orang.. Tapi beruntung remaja Vihara Surya Adhi Guna kedatangan pembicara yang sangat baik, yakni Ferry Karsilo, Pembicara yang sudah banyak dikenal di kalangan Buddhist se-kabupaten Karawang.
Pada awal mula sesi, Ferry melontarkan pertanyaan: “ Apa tujuan anda semua datang ke Vihara? ” ..Dharma menjawab:”supaya bisa berdana”. “Motivasi yang sangat baik”, sambut ferry,Pertanyaan seperti ini sebenarnya adalah pertanyaan untuk kita semua. Banyak orang datang ke vihara karena banyak motivasi. Lalu Ferry bertanya kembali : “ Semua yang hadir, siapa yang sudah punya KTP? ”.. Hampir sebagian besar yang hadir sudah memiliki KTP, “ Pasti di KTP tersebut tertulis Agama = Buddha” lanjut Ferry, kenapa kita beragama Buddha? Kebanyakan orang beragama Buddha karena memang sudah dari kecilnya ( karena orang tua ). Banyak orang beragama Buddha Seumur hidup, tapi apa kita benar-benar tahu bahwa agama Buddha benar-benar cocok dengan kita? Bagaimana mengukur kecocokan diri kita dengan agama-agama yang ada?apa tolok ukurnya? Mendengar pertanyaan seperti itu saya pun terenyuh, berpikir apa tolok ukur kita betul-betul cocok beragama Buddha?..
Setelah beberapa saat, Ferry memberikan jawaban, tolok ukur nya adalah,
“ kita harus renungkan sendiri pada diri kita, apa dengan beragama Buddha, pola hidup kita menjadi lebih baik? Apa dengan semakin banyak belajar Dhamma, emosi kita bisa lebih terkendali?apa dengan mengenal ajaran Buddha, hidup kita menjadi lebih bermanfaat untuk banyak orang?” Kalo jawabannya tidak, berarti jawabannya tidak cocok. Kalo setelah beragama Buddha, kehidupan anda tak kunjung membaik, apabila setelah belajar Dhamma emosi anda lebih tidak terkendali, sebaiknya saya sarankan anda untuk memilih agama lain.” Jawaban tersebut memberikan saya pencerahan, seumur hidup saya beragama Buddha, tapi tidak pernah merenungkan hal tersebut.
Jawaban tersebut dilanjutkan dengan cerita dari Ajahn Brahm, Ada seorang Ayah yang sangat sibuk bekerja. Pergi pagi-pagi sekali disaat anaknya masih tidur, dan pulang larut malam saat anaknya sudah tidur, kesibukan sang ayah membuat anaknya sangat merindukan sang ayah.
Suatu saat dikala senggang, ketika ada waktu antara sang anak dan Ayahnya bertemu, Sang anak bertanya pada sang Ayah, “Ayah berapa gaji mu?”.. Sang ayah merasa aneh anaknya bertanya demikian, Ia hanya menggelengkan kapalanya, beberapa saat kemudian, sang anak bertanya lagi “berapa gaji ayah se-jam?”.. Mendengar pertanyaan tersebut sang ayah menjadi marah dan membentak sang anak, “tidur sana, anak kecil gak perlu tahu urusan orang dewasa, lebih baik kamu naik dan tidur.” Beberapa saat kemudian sang Ayah berpikir, “Kasian juga ya, kenapa saya harus marah?” Lalu sang Ayah bergegas naik ke lantai atas menuju kamar anaknya. Dia temui anaknya yang sedang menangis, lalu dia berkata, “maafin ayah ya nak, Gaji ayah Rp.100 Ribu perjam..Memang ada apa kamu tanya gaji ayah?” Seketika sang anak berhenti menangis dan mulai tersenyum, lalu sang anak berkata pada ayahnya, “Ayah, saya minta uang!” “Loh, habis nangis kok minta uang?” tapi dengan maksud agar anaknya tidak sedih lagi, sang ayah bertanya, “berapa uang yang kamu mau?”.. sang anak menjawab: “ Rp 50 ribu ”.. “ Wah banyak sekali, untuk apa? ” jawab sang Ayah, tanpa berlama-lama, sang ayah langsung memberikan uang tersebut. Lalu diambilnya uang tersebut, si anak bergegas menuju lemarinya dan mengambil uang Rp 50 ribu, disatukannya uang tersebut dengan uang yang diminta pada ayahnya, hingga jumlahnya genap menjadi Rp 100 Ribu, Lalu disodorkannya uang tersebut pada sang Ayah, “ Ayah uang ini untuk membayar waktu ayah selama satu jam, untuk menemani saya bermain! ”...
Cerita ini mungkin sudah banyak didengar oleh banyak orang.. tapi hal yang Ferry tekankan adalah Sang ayah yang bersedia meminta maaf pada anaknya. Sesaat Ferry bertanya pada umat yang hadir, “ siapa diantara kalian yang Ayahnya pernah dengan berjiwa besar meminta maaf pada anaknya, disaat melakukan kesalahan?”.. Dari 21 orang yang hadir, hanya seorang yang menyatakan bahwa ayahnya pernah meminta maaf pada anaknya, yakni Dwitya. Ayah kita adalah orang yang sangat berjasa dalam hidup kita. “Jadi pada anda sekalian yang ayahnya masih ada, sayangilah beliau, karena disaat beliau sudah tidak ada, anda akan menyesal dan tidak bisa berbuat apa-apa.”
Cerita mengenai mengenai bakti kepada orang tua, tidak berhenti sampai disitu.. Ada sosok yang sama pentingnya dalam hidup kita, bahkan sangat penting, yakni mama.
Ada seorang Ibu yang sangat menyayangi anaknya, ia merawat anaknya dari kecil dengan penuh kasih sayang, menyuapi makan, menyusui, memakaikan baju, memandikan dan sebagainya.. beranjak umur 6 tahun, di bangku sekolah dasar, anak tersebut mulai bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Bantuan ibunya yang ia butuhkan agak berkurang, ia sudah mulai bisa memakai baju sendiri, makan sendiri dan mandi sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, sang anak semakin dewasa, sampai pada akhirnya anak tersebut berkata : “Mama terima kasih, saya sudah bisa mandiri sekarang,saya tidak mau merepotkan mama lagi.” Di satu sisi pernyataan tersebut membuat pekerjaan sang Ibu menjadi lebih ringan, lebih sedikit, tapi sang ibu malah menangis, kenapa? Ia bersedih karena beliau sudah tidak mempunyai kesempatan untuk melayani anaknya. Anak yang ia sayangi, Sang ibu rela melayani sang anak walau dia sudah besar.
“Di dunia ini adakah orang lain yang rela mati untuk kita?” Pastinya tidak ada seorang pun yang rela mati untuk kita, Tapi ada satu orang, yaitu Mama kita. Ia bertaruh nyawa saat melahirkan kita, saat kritis melahirkan, apabila ia bisa memilih siapa yang selamat antara Bayi dan dirinya, mama lebih rela memilih dirinya yang mati ketimbangan sang anak. Bagi yang masih memiliki mama, setelah pulang dari vihara ini, di rumah, lihat lah mama mu, dia lah orang yang rela mati untuk mu.
Pesan utama dari cerita-cerita ini, adalah sayangi orang tua kita dengan sepenuh hati. Berbakti bagi yang orang tua nya masih ada. Dan lakukanleh pelimpahan jasa, pada orang tua yang telah meninggal dengan cara yang terbaik. Mungkin yang kita tahu pelimpahan jasa adalah dengan membubuhkan nama almarhum/ah orang tua kita pada buku paritta yang kita sumbang, tapi sebenarnya ada cara yang lebih baik untuk melakukan pelimpahan jasa, yakni dengan mengikuti nasehat baik orang tua kita yang sudah meninggal semasa hidup. Menjadikannya tauladan, apabila orang tua kita adalah pekerja keras, kita juga harus pekerja keras, apabila orang tua kita mempunyai silla yang baik, kita juga harus memiliki silla yang baik.
Terima kasih , Semoga bermanfaat.
Jawaban tersebut dilanjutkan dengan cerita dari Ajahn Brahm, Ada seorang Ayah yang sangat sibuk bekerja. Pergi pagi-pagi sekali disaat anaknya masih tidur, dan pulang larut malam saat anaknya sudah tidur, kesibukan sang ayah membuat anaknya sangat merindukan sang ayah.
Suatu saat dikala senggang, ketika ada waktu antara sang anak dan Ayahnya bertemu, Sang anak bertanya pada sang Ayah, “Ayah berapa gaji mu?”.. Sang ayah merasa aneh anaknya bertanya demikian, Ia hanya menggelengkan kapalanya, beberapa saat kemudian, sang anak bertanya lagi “berapa gaji ayah se-jam?”.. Mendengar pertanyaan tersebut sang ayah menjadi marah dan membentak sang anak, “tidur sana, anak kecil gak perlu tahu urusan orang dewasa, lebih baik kamu naik dan tidur.” Beberapa saat kemudian sang Ayah berpikir, “Kasian juga ya, kenapa saya harus marah?” Lalu sang Ayah bergegas naik ke lantai atas menuju kamar anaknya. Dia temui anaknya yang sedang menangis, lalu dia berkata, “maafin ayah ya nak, Gaji ayah Rp.100 Ribu perjam..Memang ada apa kamu tanya gaji ayah?” Seketika sang anak berhenti menangis dan mulai tersenyum, lalu sang anak berkata pada ayahnya, “Ayah, saya minta uang!” “Loh, habis nangis kok minta uang?” tapi dengan maksud agar anaknya tidak sedih lagi, sang ayah bertanya, “berapa uang yang kamu mau?”.. sang anak menjawab: “ Rp 50 ribu ”.. “ Wah banyak sekali, untuk apa? ” jawab sang Ayah, tanpa berlama-lama, sang ayah langsung memberikan uang tersebut. Lalu diambilnya uang tersebut, si anak bergegas menuju lemarinya dan mengambil uang Rp 50 ribu, disatukannya uang tersebut dengan uang yang diminta pada ayahnya, hingga jumlahnya genap menjadi Rp 100 Ribu, Lalu disodorkannya uang tersebut pada sang Ayah, “ Ayah uang ini untuk membayar waktu ayah selama satu jam, untuk menemani saya bermain! ”...
Cerita ini mungkin sudah banyak didengar oleh banyak orang.. tapi hal yang Ferry tekankan adalah Sang ayah yang bersedia meminta maaf pada anaknya. Sesaat Ferry bertanya pada umat yang hadir, “ siapa diantara kalian yang Ayahnya pernah dengan berjiwa besar meminta maaf pada anaknya, disaat melakukan kesalahan?”.. Dari 21 orang yang hadir, hanya seorang yang menyatakan bahwa ayahnya pernah meminta maaf pada anaknya, yakni Dwitya. Ayah kita adalah orang yang sangat berjasa dalam hidup kita. “Jadi pada anda sekalian yang ayahnya masih ada, sayangilah beliau, karena disaat beliau sudah tidak ada, anda akan menyesal dan tidak bisa berbuat apa-apa.”
Cerita mengenai mengenai bakti kepada orang tua, tidak berhenti sampai disitu.. Ada sosok yang sama pentingnya dalam hidup kita, bahkan sangat penting, yakni mama.
Ada seorang Ibu yang sangat menyayangi anaknya, ia merawat anaknya dari kecil dengan penuh kasih sayang, menyuapi makan, menyusui, memakaikan baju, memandikan dan sebagainya.. beranjak umur 6 tahun, di bangku sekolah dasar, anak tersebut mulai bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Bantuan ibunya yang ia butuhkan agak berkurang, ia sudah mulai bisa memakai baju sendiri, makan sendiri dan mandi sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, sang anak semakin dewasa, sampai pada akhirnya anak tersebut berkata : “Mama terima kasih, saya sudah bisa mandiri sekarang,saya tidak mau merepotkan mama lagi.” Di satu sisi pernyataan tersebut membuat pekerjaan sang Ibu menjadi lebih ringan, lebih sedikit, tapi sang ibu malah menangis, kenapa? Ia bersedih karena beliau sudah tidak mempunyai kesempatan untuk melayani anaknya. Anak yang ia sayangi, Sang ibu rela melayani sang anak walau dia sudah besar.
“Di dunia ini adakah orang lain yang rela mati untuk kita?” Pastinya tidak ada seorang pun yang rela mati untuk kita, Tapi ada satu orang, yaitu Mama kita. Ia bertaruh nyawa saat melahirkan kita, saat kritis melahirkan, apabila ia bisa memilih siapa yang selamat antara Bayi dan dirinya, mama lebih rela memilih dirinya yang mati ketimbangan sang anak. Bagi yang masih memiliki mama, setelah pulang dari vihara ini, di rumah, lihat lah mama mu, dia lah orang yang rela mati untuk mu.
Pesan utama dari cerita-cerita ini, adalah sayangi orang tua kita dengan sepenuh hati. Berbakti bagi yang orang tua nya masih ada. Dan lakukanleh pelimpahan jasa, pada orang tua yang telah meninggal dengan cara yang terbaik. Mungkin yang kita tahu pelimpahan jasa adalah dengan membubuhkan nama almarhum/ah orang tua kita pada buku paritta yang kita sumbang, tapi sebenarnya ada cara yang lebih baik untuk melakukan pelimpahan jasa, yakni dengan mengikuti nasehat baik orang tua kita yang sudah meninggal semasa hidup. Menjadikannya tauladan, apabila orang tua kita adalah pekerja keras, kita juga harus pekerja keras, apabila orang tua kita mempunyai silla yang baik, kita juga harus memiliki silla yang baik.
Terima kasih , Semoga bermanfaat.
Wah luar biasa neh Tommy, bisa hafal semua isi ceramah. Btw, itu ada yg harus dikoreksi.. Saya bukan pembicara yg banyak dikenal di Kabupaten Karawang. Kyknya agak lebai tuch.. Saya baru2 ini aja koq ngisi di vihara.
BalasHapusTapi saya berterima kasih sekali buat Tommy yg uda ngundang saya & teman2 V.SAG karena tanpa mereka, apalah artinya sharing saya.
Thanks, maju terus dalam Dhamma..:-)
Ungkapan itu gak salah, siapa yang gak kenal sama Ferry Karsilo? Patriot muda Buddhist yang berani maju di setiap kebaktian umum/remaja di kabupaten karawang.. semoga terus berjuang untuk Buddha Dhamma,..
BalasHapus