Protokol : Romo Pannajayo
Lilin altar : Bpk. Dharmawan
Dhammapada : Ibu Swan
Dhammadesana : Bpk. Rajiman
Namo Buddhaya,
Pada kebaktian kali ini Romo Rajiman, atau yang sudah kita kenal sebagai Bapak Rajiman, Seorang Guru sekolah Agama Buddha ini berceramah membahas tentang kematian. “Kematian adalah sesuatu yang menakutkan untuk banyak orang. Termasuk saya sendiri.” Ucap Bapak Rajiman.
Hari ini kita bekerja dengan giat, atau belajar di sekolah, atau apapun yang kita lakukan hari ini untuk esok hari, mungkin saja tidak dapat kita dapatkan hasilnya pada esok hari, karena kematian sudah menjemput kita sebentar lagi.
Dalam surat-surat kabar sering tercantum berita kematian
berbunyi seperti: “Ikut Berduka-cita atas meninggalnya ...”
Itu hanyalah sebagian kecil ungkapan perasaan yang tersalurkan
melalui media cetak. Di rumah almarhum/ah, dapat
dijumpai pemandangan yang jauh lebih mengenaskan.
Sanak keluarga yang ditinggalkan tampak bersedih-hati dengan menangis
dan bahkan ada yang sampai menggerung-gerung.
Kejadian semacam itu tidak hanya dapat dijumpai dalam keluarga
non-Buddhis, melainkan juga sering terjadi di kalangan umat Buddha.
Bagaimana sesungguhnya kejadian tersebut jika ditinjau berdasarkan
Dhamma? Dapatkah perbuatan itu dibenarkan? Sesuaikah dengan semangat
ajaran murni Sang Buddha?
Dalam Mahâparinibbâna Sutta, kejadian semacam itu dapatlah
dijumpai. Dikisahkan bahwa ketika Buddha Gotama akan mengakhiri
kehidupan-Nya, Ânanda Thera sangat berduka-cita. Sambil bersandar di
tiang pintu, beliau menangis. Mengetahui hal ini, Sang Buddha segera
memanggilnya dan menasihati: “Cukup, Ânanda, janganlah Engkau bersedih
hati, dan janganlah meratap! Bukankah sejak semula telah Saya wejangkan
bahwa peralihan, perpisahan, dan perubahan dari segala sesuatu
yang kita sayangi serta cintai pastilah terjadi.
Bagaimana mungkin apa
yang terlahirkan, terjadi, terpadu, dan wajar mengalami kehancuran, tidak
akan hancur kembali? Tidaklah mungkin berharap demikian.”
Dari kisah tersebut, jelaslah bahwa umat Buddha tidaklah selayaknya
bersedih hati atas meninggalnya makhluk-lain, betapa pun besar
jasanya dan betapa pun besar cinta kasihnya. Namun, ini juga
bukanlah berarti seseorang harus bersuka-ria atas kematian sanak keluarga.
Apabila ditelaah berdasarkan Abhidhamma, duka (domanassa
vedanâ) adalah suatu jenis perasaan yang timbul berpadu dengan kesadaran
yang bersumber pada kebencian (dosamula-citta). Kesadaran ini,
yang bersifat menolak objek yang sedang dihadapi, termasuk sebagai kesadaran
buruk (akusala-citta). Perasaan duka sama sekali tidak pernah
berpadu dengan kesadaran baik (kusala-citta). Dengan perkataan lain,
berduka-cita bukanlah suatu kebajikan; bukan suatu perwujudan dari
rasa bakti, tulus, setia. Umat Buddha yang sejati selayaknya berusaha sedapat
mungkin untuk menghindari perasaan duka. Kalau ada sanak keluarga
yang meninggal dunia, tidaklah perlu memuat berita dengan
pernyataan seperti: “Ikut Berduka-cita . . .” karena ini tidak sesuai dengan
hakikat Dhamma. Sikap serta pola berpikir yang lebih arif perlu dijalankan.
Untuk menyatakan serta membuktikan betapa besar rasa bakti
dan cinta kasih terhadap almarhum/ah, seseorang tidaklah harus
berduka-cita, menangis atau bahkan menyewa orang-orang miskin untuk
berpura-pura menangis atas nama dirinya –sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang dari kalangan atas. Dengan mengembangkan perasaan
duka-cita, orang yang telah meninggal dunia tidaklah mungkin dapat dihidupkan
kembali, dan ini bukanlah suatu pertolongan apa pun baginya
di alam sana. Bukan tangisan dari sanak keluarga yang dapat menghantarkan
seseorang ke Surga. Dalam Agama Buddha, tidak ada dewa yang
mengadili seseorang dari banyaknya keluarga atau teman yang
menangisinya, dan lamanya mereka menangis. Setiap makhluk terlahirkan
kembali sesuai dengan akibat kamma perbuatan masing-masing.
Seseorang mungkin akan bertanya, “Kalau berita berbunyi ‘Ikut
Berduka-cita…’ tidak tepat untuk dipakai di kalangan Buddhis, lalu pernyataan
yang bagaimanakah yang cocok?” Ungkapan-ungkapan yang
mengandung makna Dhamma seperti “Segala perpaduan bersifat tidak
kekal” atau “Kehidupan itu tidaklah pasti, namun kematianlah yang pasti
menimpa semua makhluk hidup” jauh lebih baik dan cocok bagi umat
Buddha.
Oleh karena itu, hari ini, saat ini, kita yang belum mengalami kematian. Sudah seharusnya tanpa mengenal lelah untuk berbuat baik. Mengumpulkan jasa kebajikan sampai pada kesempurnaan paramitha.
yang terlahirkan, terjadi, terpadu, dan wajar mengalami kehancuran, tidak
akan hancur kembali? Tidaklah mungkin berharap demikian.”
Dari kisah tersebut, jelaslah bahwa umat Buddha tidaklah selayaknya
bersedih hati atas meninggalnya makhluk-lain, betapa pun besar
jasanya dan betapa pun besar cinta kasihnya. Namun, ini juga
bukanlah berarti seseorang harus bersuka-ria atas kematian sanak keluarga.
Apabila ditelaah berdasarkan Abhidhamma, duka (domanassa
vedanâ) adalah suatu jenis perasaan yang timbul berpadu dengan kesadaran
yang bersumber pada kebencian (dosamula-citta). Kesadaran ini,
yang bersifat menolak objek yang sedang dihadapi, termasuk sebagai kesadaran
buruk (akusala-citta). Perasaan duka sama sekali tidak pernah
berpadu dengan kesadaran baik (kusala-citta). Dengan perkataan lain,
berduka-cita bukanlah suatu kebajikan; bukan suatu perwujudan dari
rasa bakti, tulus, setia. Umat Buddha yang sejati selayaknya berusaha sedapat
mungkin untuk menghindari perasaan duka. Kalau ada sanak keluarga
yang meninggal dunia, tidaklah perlu memuat berita dengan
pernyataan seperti: “Ikut Berduka-cita . . .” karena ini tidak sesuai dengan
hakikat Dhamma. Sikap serta pola berpikir yang lebih arif perlu dijalankan.
Untuk menyatakan serta membuktikan betapa besar rasa bakti
dan cinta kasih terhadap almarhum/ah, seseorang tidaklah harus
berduka-cita, menangis atau bahkan menyewa orang-orang miskin untuk
berpura-pura menangis atas nama dirinya –sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang dari kalangan atas. Dengan mengembangkan perasaan
duka-cita, orang yang telah meninggal dunia tidaklah mungkin dapat dihidupkan
kembali, dan ini bukanlah suatu pertolongan apa pun baginya
di alam sana. Bukan tangisan dari sanak keluarga yang dapat menghantarkan
seseorang ke Surga. Dalam Agama Buddha, tidak ada dewa yang
mengadili seseorang dari banyaknya keluarga atau teman yang
menangisinya, dan lamanya mereka menangis. Setiap makhluk terlahirkan
kembali sesuai dengan akibat kamma perbuatan masing-masing.
Seseorang mungkin akan bertanya, “Kalau berita berbunyi ‘Ikut
Berduka-cita…’ tidak tepat untuk dipakai di kalangan Buddhis, lalu pernyataan
yang bagaimanakah yang cocok?” Ungkapan-ungkapan yang
mengandung makna Dhamma seperti “Segala perpaduan bersifat tidak
kekal” atau “Kehidupan itu tidaklah pasti, namun kematianlah yang pasti
menimpa semua makhluk hidup” jauh lebih baik dan cocok bagi umat
Buddha.
Oleh karena itu, hari ini, saat ini, kita yang belum mengalami kematian. Sudah seharusnya tanpa mengenal lelah untuk berbuat baik. Mengumpulkan jasa kebajikan sampai pada kesempurnaan paramitha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar