Minggu, 30 Agustus 2009

Bapak Abeng : Patidana

Kebhaktian Umum, 28 Agustus 2009
Protokol : Ibu Lilayani
Penyalaan Lilin Altar : Romo Pannajayo
Pembacaan Dhammapada : Upasika Sumiati Sukanta (Gatha 332 dan 333)
Dhammadesana : Bpk. Abeng (Tema : Pati Dana)
Penulis : Grace Chandra ( Facebook )

Bulan Cit Gwe merupakan bulan yang berbahagia karena pada pertengahan bulan agustus ini kita (para keturunan tionghoa) merayakan suatu tradisi sembahyang CIT GWE. Selain mengenal tradisi sembahyang Cit Gwe, kita juga mengenal kegiatan ulambama, sembahyang Cio Koh, atau juga Pati dana. Hal ini kita lakukan untuk memberikan persembahan atau pelimpahan jasa kepada leluhur-leluhur kita yang telah meninggal.
Pelimpahan jasa kepada leluhur-leluhur yang kita miliki adalah merupakan perbuatan yang sangat mulia dan merupakan ungkapan bakti kita kepada mereka. Berbakti kepada leluhur adalah perbuatan yang akan menuntun kita kepada kebahagiaan. Hal ini sesuai dengan Dhmamapada Gatha 332 yang mengatakan, “Berbakti kepada ayah dan ibu merupakan suatu kebahagiaan.”
Kita haruslah berbakti kepada leluhur kita, ayah dan ibu kita karena jasa kebaikan mereka sangatlah besar. Ada ungkapan yang mengatakan “Langit yang diatas kita terlihat sangat tinggi tetapi kebaikan Ibu, Ayah dan para Arya lebih tinggi dibandingkan tingginya langit. Tebalnya bumi yang kita pijak sangatlah tebal akan tetapi kebaikan Ibu, Ayah, dan para Arya lebih tebal dibandingkan tebalnya bumi.” Kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan kepada kita tak terhitung banyaknya. Kebaikan mereka telah membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Oleh sebab itu kita patut membalas kebaikan mereka ini, kita harus berbakti kepada mereka selama-lamanya. Saat mereka hidup kita harus merawat dan menjaganya serta berusaha membuat mereka berbahagia di dalam jalan dhamma. Saat mereka telah tiada kita pun harus mengenangnya dan memberikan suatu pelimpahan jasa kebajikan agar mereka berbahagia. Perlu kita ketahui pelimpahan jasa (Pati Dana) merupakan suatu hadiah terbesar yang dapat kita limpahkan kepada leluhur kita yang telah tiada.
Orang mulai mengenal pati dana di masa jaman Buddha. Dikisahkan pada jaman Buddha Gautama ada seorang Raja yang bernama Raja Bimbisara. Pada suatu hari Raja Bimbisara melakukan dana kepada Buddha Gautama, lalu dimalam setelah beliau melakukan dana beliau mendengar suara rintihan yang mengerikan.
Sang Raja pun tidak dapat tidur dan merasa ketakutan. Beliau kemudian menceritakan hal ini kepada Buddha. Buddha Gautama pun menjelaskan bahwa suara tersebut adalah suara tangisan sanak keluarga sang raja yang berada di alam peta yang merasa sedih dan putus asa karena sang raja tidak melimpahkan jasa kebajikan kepada mereka. Mendengar hal ini maka sang raja pun kembali melakukan dana kepada Buddha dan lalu melimpahkan jasa kebajikan (PATI DANA) yang telah ia lakukan kepada leluhurnya yang telah meninggal dan membutuhkan. Sejak saat itulah pati dana mulai dikenal dan dipraktekkan oleh umat Buddha.
Demikianlah ringkasan kebhaktian umum 28 Agustus 2009. Semoga bermanfaat. Sadhu…! Sadhu…! Sadhu…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search